Langsung ke konten utama

Cukup Sebagai Aku

Tidak satu kata pun terlontarkan
Dari paras gagah penuh dengan kelembutan
Aku tau ia sudah terlalu banyak dikecewakan
Oleh orang yang dia sudah percayakan

Aku melihatnya dari cermin samping itu. Wajahnya sayu, tertutup oleh basahnya hujan yang tak kunjung henti. Lantas ku tanyakan padanya ada apa. Hanya terbalaskan diam dan terus menancap gas bersama lantunan nada yang tertanam di telinga.

Ia lelah, pikirku. Lelah menghadapi fakta bahwa aku, orang yang telah memberinya konfirmasi waktu untuk bisa bersamanya, justru dengan cepat menarik kembali waktu itu. Ya meskipun ia tau, bahwa aku membatalkan hal itu untuk sesuatu yang datang sekali seumur hidup. Dia pun mengalah, karena ia tau bahwa hal ini lebih penting dan baik untuk masa depan ku.

Dalam dinginnya malam, ia terpikirkan hal yang tadi siang terjadi dengan pembatalan janji tersebut secara sepihak olehku. Dan ternyata, pikiran itu masih ditambah dengan berbagai hal lain yang mengganggunya, yang berhubungan denganku juga. Probabilitas situasi-situasi yang akan menghinggapi pikiran dan hati. Bukan hanya dia, aku pun ikut tertunduk lemas memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi ketika hari itu datang nanti.

Dalam diam malam itu, aku hanya berharap bahwa setidaknya diriku bisa menjadi cukup.

Cukup sebagai aku yang memiliki emosi yang tidak stabil dan harus ia tangani disaat momen itu hadir.
Cukup sebagai aku yang terakhir memberinya kekecewaan atas hal sederhana, gagal menjadi pendengar yang baik.
Cukup sebagai aku yang memberinya rasa kasih sayang, meskipun itu tersampaikan dengan kekeliruan.
Cukup sebagai aku yang bersyukur atas kehadirannya dalam kehidupan remajaku, yang memiliki problema cukup banyak dalam satu waktu yang bersamaan.
Dan cukup sebagai aku, yang memiliki jawaban standar atas pertanyaannya, namun menyimpan begitu banyak hal rumit yang sulit terucapkan demi pikirannya agar tak jauh melanglang buana.



Setidaknya hingga saat ini, kamu sebagai dirimu, sudah cukup untuk membuat ukiran senyum diwajahku.



Caringin, Jatinangor.
22 Februari 2019.
03:04 Dini Hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Loose Rope

I mourn for today, for it was my lost. And for it I kept on blaming myself, without a single solution. Hanging on a loose rope. Where both ends used to be hold on tight for dear life, and now it seems like one has let that go. If there was a day I needed you to make me feel better - or even just okay- then surely it's today. Because today, well, it has been a bad week. It was those bad days where everything feels wrong because nothing went right. Also it was one of those bad days that forms a crack. The kind of day you get bad news and know - or at least kept thinking- that more bad days lie in wait. It was one of those days you're afraid is only the beginning of whatever is going to break. But then again, as much as I hope you to, it was my fault for the bad days. Sadly enough, what victim would embrace the suspect after the deeds are done.

Buah Tangan

Kala itu kita bersandiwara Bercerita hidup tak mudah dalam seketika Bunga dan Api hanya akan membawa petaka Bagi kuntum dan bara yang dihasilkannya Dua waktu, satu lokasi Bersamaan, seiring bayang yang hilang Kacamata berembun penanda dingin Hangatnya bahasa jadi penenang Mengetahui tapi enggan menyebutkan Hal tabu yang menjadi penghalang Tenaga yang dikeluarkan sia-sia kah? Meski bahagia menjadi ganjarannya. Tertandaku yang dapatkan buah tangan, 7 Juni 2018.

#CeritaKembali Hari Kelima di Bulan Januari 2018

Hari ke lima dalam tahun ini menyambutku dengan angkuh. Sepertinya banyak problema yang ingin dimulai dengan ritme yang cepat. Tidak 1 atau 2, 3 kasus yang muncul hari ini cukup menggelengkan kepala... Mungkin hari ini bisa dibilang juga menjadi hari pertama aku berani menyatakan pendapatku dihadapannya. Pendapatku yang selama ini masih dianggap kekanak-kanakan, kini usia ku yang hampir menginjak angka belasan terakhir dalam hidupku membuat gebrakannya. Proses menuju kelebih dewasaan yang taakan ku sia-sia kan. Hari ini bukti kasus itu bermunculan. Walau hanya 1 bukti dari saksi, bukti tersirat lainnya pun mulai menampakkan dirinya dihadapanku yang “mulai dapat ikut campur” ini. Bergejolaknya amarah dan segala emosi yang ku pendam kini ku ungkap dalam paragraf kecil yang ku kirim padanya bersamaan dengan bukti dosanya pada kami di hariini. Begitu banyak yang ingin ku sampaikan padanya, tak cukup yang paragraf kecil itu wakilkan. Akan ku ungkap terlebih dahulu disini, jadi nanti k...